Cerpen



Menyambut Mentari di Bukit Berbunga
ASPAWATI S.Pd

Lantunan ayat suci Al-Quran menghanyutkan ambang pikiranku. Merasuk ke dalam labirin-labirin hatiku yang sedang bergemuruh. Dalam beberapa saat saja, hati ini kembali tenang. Setelah sujud terakhirku kepada-Nya, ku tadahkan tangan mungilku. Ku bersimpuh dihadapan-Nya yang begitu Agung. Kuucapkan kata demi kata dengan suara lembut nan bergetar  “Ya Allah, berikanlah hamba petunjuk , jika ini memang yang terbaik buat hamba dan indah bagimu untuk kehidupan hamba kedepannya.. mudahkanlah jalannya, jalan yang Engkau ridhoi” .
Tak terasa sebulir kristal bening jatuh membasahi pipiku. Dalam benakku banyak pertanyaan yang terus membutuhkan jawaban . Sanggupkah saya menghadapi kehidupan baru ini ? Sanggupkah saya menjejakkan kaki dengan tegas di tanah baru ini ? Sanggupkah ? Sanggupkah ? Telah kutanya pada relung hatiku.. telah kutanyakan pada daun yang berguguran tertiup angin, pada rerumputan yang bergoyang. Namun, semua diam membisu. Hanya Engkau Maha Mengetahui yang akan menjawab semua bisikan hatiku.
Teringat ketika....
***
Hhhh,,, kulepaskan semua udara yang sejak tadi menyesakkan dada ini.  Kuhirup udara baru sambil memejamkan kedua mataku. Satu persatu langkah kaki menuntun keluar dari pesawat yang menerbangkanku menuju tempat ini. Bumi batiwakkal ? Inikah dia ?
Tak sempat aku  memikirkannya lebih jauh. Aku justru berpikir untuk mencari taksi untuk menghantarkanku ke tempat yang akan menjadi rumah bagiku sekarang. Selama perjalanan, aku membayangkan, diriku yang mengajar , Lalu aku bertanya  “apakah ada yang ingin bertanya?” Kemudian siswa itu mengangkat tangan. Dan.. 1...2...3...  Suara siswa itu perlahan mengecil dan menghilang. Aku tertidur di atas sandaran kursi mobil yang begitu empuk . Dalam mimpiku kulihat sinar mentari baru yang menyambutku. Begitu hangat.. Begitu indah..
“Mbak.. sudah sampai” lelaki setengah umur itu membangunkanku dengan logat daerah ini yang masih terdengar asing di tulang pendengaranku. “Oh iya pak, Terimakasih” setengah bangun aku menjawab. Setelah memindahkan barang-barang, aku meregangkan tubuhku yang terasa kaku.
Didepanku berdiri sebuah bangunan dengan warna cat yang mulai memudar. Kulangkahkan kakiku dengan yakin menapaki keramik-keramik yang mulai menguning. Menjejalkan degupan gugup di kerongkongan, andai kata aku bisa mengeluarkannya melalui sendawa. Suara hujan pun tak lagi kudengar, hanya degupan gugup yang menggebu-gebu kudengar. Aku disambut dua orang laki-laki yang merupakan guru di sekolah bergengsi di kota ini. Aku akan bekerja bersama mereka, batinku.
            Aku memandangi setiap sudut ruangan yang dikatakan sebagai lobi asrama. Sangat sepi, hanya dinginnya hujan yang terasa menemani. Kulihat jam tanganku, masih jam 14.00 Wita, masih jam sekolah. Pantaslah sangat sepi. Ada banyak hal yang kupikirkan antara anak-anak dan asrama. Bagaimana caranya agar aku berbaur dengan mereka? Perlukah aku menuliskan seribu cara di dinding coklat kamarku?
“Ibu, di sini kamar ibu. Kemarin kami sudah meminta bantuan anak-anak untuk membersihkan” jelas salah seorang guru membuyarkan lamunanku.
“oh..iya,Pak. Terimakasih.” Ucapku.
“Barangnya sudah saya tata di dalam, selamat istirahat, Bu. Anak-anak akan pulang sebentar lagi.” Pesan guru lainnya.
“Terimakasih atas bantuannya, Pak”
            Aku mulai memasuki kamarku, kuhirup aroma kamar yang sedikit pengap. Sangat terasa aroma ruangan yang tak ditempati beberapa hari. Aku membuka jendela, melihat sedikit sudut-sudut halaman asrama yang terlihat semak. Rasanya asing sekali aku berdiri di sini. Suara angin yang tak sama dengan tanah kelahiranku. Hujan sudah sedikit mereda ketika aku melihat satu persatu siswi-siswi pulang sekolah menuju asrama. Mereka terlihat bahagia, sangat bersinar dengan kedewasaan dan kemandirian yang mereka miliki. Bisakah aku menjadi diri yang ada di samping mereka?
            Aku menata barang-barangku, dan merapikan koper. Aku mulai mendengar keramaian yang menggema dan bersahut di asrama ini. Derap langkah mereka mulai terdengar berirama. Aku mencoba keluar dari kamar untuk menuju WC dengan sejumput MODUS untuk melihat wajah-wajah teman-teman kecilku. Aku membuka pintu dengan perlahan, rasanya rasa maluku masih terlalu besar, tapi rasa penasaranku lebih besar dari apapun. Ketika aku keluar, terlihat wajah-wajah heran, namun senantiasa tersenyum. Mereka tersenyum begitu manis dan sedikit menundukkan kepala tanda hormat. 5S, senyum, sapa, salam, sopan dan santun, budaya sekolah ini yang kemarin sempat diceritakan guru-guru yang menyambutku.
“selamat siang, ibu” sapa salah seorang anak.
“selamat siang” sapaku kembali.
Apakah mereka menerimaku? Detik-detik itu aku mulai mendengarkan bisikan-bisikan kecil dari mereka. Benarkah ini guru kita yang baru? Tapi ibu itu guru apa? Benarkah dia guru sejarah yang menggantikan guru kita yang sudah pindah? Kelihatannya dia orang yang baik, tapi sepertinya pemalu. Bisikan-bisikan yang dulu juga pernah kulakukan saat seperti mereka. Satu bisikan yang sempat terdengar olehku, dan membuatku tertawa saat mengingatnya.
“Mungkinkah ia akan menjadi pembina asrama kita?” tanya salah seorang anak.
“Apa? Masa iya?” sahut lainnya terkejut.
“Aku kan bertanya..” ujar anak pertama.
“Hah.. mungkinkah kita akan menambah satu pembina lagi? Satu pembina saja sudah cukup memusingkan buat kita” ujar anak lainnya.
            Aku hanya tertawa kecil mendengarnya.
            Sore itu, ketika matahari mulai bersiap menyibak jubah hitamnya, tiga orang anak perempuan yang begitu manis dengan senyumannya mengetuk pintu kamarku. Rasanya aku gembira, seperti aku ingin terjun bebas dari ujung bunga matahari menuju kapas-kapas lembut di bawahnya.
“Selamat sore ibu” sapa mereka girang.
“Kami ingin berkenalan dengan ibu” ujar mereka.
“Ayo silahkan masuk” ajakku dengan bahagia.
            Aku mulai berbincang dengan mereka dengan suguhan cemilan sederhana. Anak pertama yang di sebelah kiriku adalah Hann, terlihat manis dengan rambut yang dikuncir kuda. Kamar Hann berada tepat di depan kamarku. Anak yang ditengah dan terlihat imut adalah Fatinah, kamarnya berada di sebelah kiri kamarku. Dan yang di sebelah kananku adalah Ina, sangat ramah dan tidak pernah melepaskan senyumnya yang sangat manis. Mereka memperkenalkanku seluk-beluk sekolah tempatku akan mengajar dan bagaimana Sambaliung itu. Mereka menceritakan kehidupan asrama yang penuh kebahagiaan menggebu-gebu. Tiga teman kecil pertamaku, di hari pertamaku menginjakkan kaki di Bukit Berbunga.
            3 hari lagi liburan akhir semester. Perasaan mereka yang kuyakin tengah bermekaran bunga dandelion menyambut liburan, akan segera tumbuh ranum. Mereka semua akan pulang menuju tempat asal masing-masing, disambut ibu mereka dengan hidangan-hidangan yang pasti mereka rindukan. Aku akan sendiri berada di sini. Menyambut fajar dan mengakhiri senja dengan rumput yang tak henti menari. Melihat daun kering yang jatuh, dan memandang langit dengan bulan dan bintang-bintang kecil di sampingnya. Andai kata aku adalah rembulan, dan mereka adalah bintang-bintang di malam hari. Aku tidak akan bisa sendiri berbahagia jika tidak ada bintang-bintang kecil yang selalu tertawa dengan derap kaki mereka saat pulang sekolah.
            Ketika mereka menikmati liburan, untuk pertama kalinya aku mengunjungi wisata pulau Derawan. Tempat yang begitu indah dan menarik bagi siapapun, desiran angin pantai, sunset Derawan yang elegan, membuat siluet-siluet yang tampak manis. Aku menikmati liburan itu dengan teman-teman guru lainnya. Tapi rasannya, aku ingin liburan satu minggu ini berakhir. Aku ingin saling berkenalan dengan teman-teman kecilku.
*SKIP*
            Pagi ini bersama embun dan kabut yang telah menipis, jangkrik yang telah lelah berbunyi dan ingin tidur,aku turut bersama ayam jantan memanggil pagi. Ketika liburan telah berakhir, tepat pada hari Senin, 5 Januari 2015, aku memulai karirku sebagai seorang guru di sekolah bergengsi. Tak henti-hentinya aku memanjatkan doa kepada Sang Pencipta, Sang Pemberi Petunjuk, yang membawaku pada suara angin Batiwakkal. Ya Allah, mampukan aku menjalani kehidupan baru ini, mampukan aku bergabung dengan mereka, saling memberi dan menyampaikan amanah yang Engkau berikan. Ya Allah, aku di sini karena Engkau menganggapku bisa menjalaninya, berikan aku petunjuk atas segala pertanyaanku, batinku penuh harap saat aku melangkahkan kakiku di hadapan papan nama sekolah besar ini. Disinilah pertanyaanku kan terjawab. Biarkan saja rumput tetap bergoyang, angin tetap bersiul, dan awan tetap bergeser, namun titipkan jawabanku pada teman-teman alam ini.
            Aku mulai berkenalan dengan teman-teman kerjaku. Bersalaman dan menjalin silaturahmi, seperti semut-semut yang menghampiri ratunya, seperti lebah dan kembang yang saling memberi keberuntungan. Hari ini, saat mentari milik Batiwakkal megah menyinari Segah, aku belajar mengenal anak-anak pewaris ilmu-ilmu yang kumiliki. Mereka begitu ramah, seperti aku adalah bunga matahari, dan mereka lebah-lebah yang ingin selalu mengenal dan merasakan nektar ilmu yang kubawa bersamaku. Begitu banyak yang kualami hari ini, seperti kupu-kupu yang sudah berkeliling di taman bunga.
            Cepat aku mengenal teman-teman kecilku di asrama ini, secepat angin yang mengenali bunga matahari, bunga tulip, dan bunga mawar, lalu menyapanya dengan siulan. Hari itu, di tengah kesibukanku, kepala sekolah memintaku untuk masuk ke ruangan beliau.
“Bagaimana kabarnya,ibu?” tanya kepala sekolah padaku.
“alhamdulillah baik, Pak” jawabku penuh hormat.
“Bagaimana keadaan asrama?” tanya kepala sekolah.
“Alhamdulillah baik, Pak. Anak-anak sudah bisa berbaur dan menerima saya” jelasku.
“begini, bu. Saya sudah mempertimbangkan berbagai hal. Saya memberikan kepercayaan pada ibu untuk menjadi pembina asrama menggantikan pembina yang sebelumnya, sebab, pembina sebelumnya memiliki kesibukan-kesibukan lain. Bagaimana, apakah ibu bersedia?”
            Aku  terdiam dan memikirkannya sejenak. Sesaat itu rasanya aku dihadapkan pilihan yang menurutku berat. Aku begitu bahagia atas kepercayaan ini, seperti kelinci yang menemukan wortel di saat laparnya. Tapi, aku merasa bimbang, sanggupkah aku menjalaninya? Menjadi seorang ibu, kakak, dan orang tua bagi 30 anak? Aku menghela napasku panjang.
“Baik, pak. Insyaallah saya akan menjalankan amanah ini dengan baik” jawabku yakin.
“Baik ibu, Saya mohon pada ibu untuk mendidik anak-anak dengan baik dan bijaksana. Didik mereka dengan sepenuh hati, jangan sampai membuat mereka terbebani dan merasa sakit hati, dan tidak betah di asrama” pinta kepala sekolah penuh rasa percaya.
            Beliau orang yang bijaksana, yang benar-benar menumpukan rasa percayanya padaku. “Terimakasih atas kepercayaan bapak, insyaallah saya akan menjaga kepercayaan ini dan memberikan yang lebih baik” ucapku dengan bahagia.
            Sejak saat itu, resmilah aku menjadi bulan mereka pada malam hari, dan matahari mereka pada siang hari. Kujalankan amanah itu dengan sepenuh hati, bagaimana caranya agar mereka tak terpikir untuk berpaling pada bunga lain. Begitu banyak hal baru yang ingin kujalankan bersama mereka. Ketika pertama kali aku membina pertemuan bersama penghuni asrama, aku menjelaskan berbagai program-program yang menyenangkan. Saat itu pula mereka menyambut dengan sorakan gembira dan meminta untuk segera menjalankannya bersama. Aaah.. Sungguh bahagia melihat mereka terlihat bahagia, seolah baru kali ini hal itu terpancar dari wajah-wajah mereka yang tengah dalam masa menuju dewasa.    
Senjaku di Bukit Berbunga, ketika itu aku menyambutnya bersama teman-teman kecil yang telah kukenal dekat. Bintang-bintang kecil pada malam hari yang tenang di samping bulan, awan-awan lembut di hamparan langit siang hari. Sampaikan kebahagiaanku, angin, kuserahkan lencana terimakasihku atas jawaban yang telah dititipkan-Nya.
Latest
Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
Anonim
AUTHOR
30 Maret 2022 pukul 14.46 delete

How to Make Money from Betting on Sports Betting - Work
(don't worry septcasino.com if you get it casinosites.one wrong, though) The process involves placing bets on different events, but งานออนไลน์ it can also novcasino be done by using the

Reply
avatar